ADI RAHMAN ADIWOSO
Berbekal keahliannya di bidang telekomunikasi satelit, ia menghasilkan teknologi sekaligus produk baru yang belum ada di pasaran dunia. Inovasi Adi memungkinkan komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan di mana saja. Ketika jaringan kabel belum menjangkau dan telepon seluler konvensional kehilangan sinyal, sistem telekomunikasi temuannya tetap “on”.
“Selama di atas kepala terlihat langit, komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan”, kata Adi, Chief Executive Officer & President Director PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga menduduki jabatan yang sama di Asia Cellular Satelite (ACeS). Alat telekomunikasi bebas blank spot dan irit tempat ini dimungkinkan berkat ide memasang satelit telekomunikasi di orbit geostationer. Di lintasan imajiner yang letaknya 36.000 km di atas permukaan bumi itulah, Adi menempatkan satelit Garuda 1. Satelit gagasannya itu berbobot 4,5 ton yang dilengkapi dua antena payung kembar selebar 12 meter dan mampu menjangkau sepertiga kawasan dunia. Karena ukurannya cukup besar, intensitas pancaran sinyalnya juga cukup besar.
Peluncuran satelit sipil terbesar di dunia pada Februari 2000 itu kontan membuat ciut para operator telepon satelit dunia. Ketika itu, bisa dibilang, seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan di orbit rendah (600 – 1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Daya jangkau satelit-satelit itu terbatas. Agar dapat meliput satu belahan dunia butuh sekitar 60 satelit berorbit rendah atau 12 satelit berorbit menengah. Kelemahan lain pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak ketika itu adalah pesawatnya yang tidak praktis. Perangkat telepon bergerak yang bisa digunakan untuk berkomunikasi via satelit ukurannya lumayan besar, hampir sebesar kopor traveling. Untuk mengoperasikannya juga perlu stasiun bumi, berupa antena parabola berdiameter satu meter.
Terobosan yang dilakukan Adi tak hanya memperluas cakupan satelit, juga memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini. Dengan daya pancar 10 kw, sinyal Garuda 1 bisa diterima dengan pesawat telepon genggam yang sekaligus merupakan stasiun bumi. ”Inilah stasiun bumi terkecil dan termurah yang pernah dibuat manusia”, ujar Adi sambil menunjukkan telepon genggam Ericsson R190. Jaringan telepon satelit yang berinduk ke Garuda 1 itu kemudian dikemas dengan merek dagang Byru.
Cara kerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda 1, yang dikendalikan fasilitas pengontrol satelit di pulau Batam. Di situ juga dibangun pusat kendali jaringan (network control center – NCC), yakni pengatur arus percakapan dengan panel pengaturnya. Garuda 1 mampu melayani 22.000 pembicaraan pada saat bersamaan. Selain itu, dibangun pula sebuah pintu gerbang (gateway) yang berfungsi sebagai operator lokal. Dengan Byru, pelanggan bisa menghubungi sesama telepon satelit, ke telepon GSM serta ke telepon rumah. Tiap permintaan sambungan akan dilakukan melalui satelit. Permintaan itu dianalisis oleh NCC Batam, untuk menentukan identitas penelepon dan menentukan gateway mana yang cocok dengan tujuan panggilan. Setelah itu, permintaan sambungan akan diteruskan ke telepon tujuan. Pembicaraan pun berlangsung. Semua proses itu berjalan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.
Untuk mewujudkan gagasan itu, Adi memang tak melakukannya sendirian. Meskipun Garuda 1 dibuat oleh Hughes Aircraft (dimana ia pernah bekerja), Amerika Serikat dan R190 dibuat Ericsson, Swedia, rancangannya dibuat sendiri oleh Adi dan timnya di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Iskandar Alisjahbana pada 1991. Bersama guru besar dan mantan rektor ITB itulah, lahir Byru dan Pasti – merek dagang sistem telepon satelit buatan PSN. ”Kekuatan Adiwoso adalah kewirausahaannya”, kata Iskandar. Tanpa keberanian memasarkan sendiri, bisa jadi temuan telepon satelit geostationer itu cuma jadi prototipe di laboratorium. Atau malah menjadi barang dagangan perusahaan asing yang mampu memodali temuan tersebut.
Dengan perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk-penduduk daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel lainnya tetap bisa bertelepon-ria dan menjelajah informasi lewat internet. Pada akhir 2003, PSM mengklaim telah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.
Kemampuannya mengembangkan bisnis telepon satelit, ketika pesaingnya megap-megap (salah satunya, Iridium malah sudah bangkrut), sedikit banyak tak lepas dari pengalamannya berkecimpung di bisnis satelit. Setelah meraih gelar kesarjanaan di bidang aeronautical dan astronautical engineering dari Universitas Purdue, Amerika Serikat, Adi bekerja di Hughes Aircraft Company. Di situ ia ikut dalam proses pembuatan satelit Palapa pesanan Indonesia. Setelah delapan tahun bekerja di perusahaan pembuat satelit itu bersama koleganya, Adi mendirikan Orion Satellite Asia Pacific di Washington DC. Lantaran keasyikan bekerja, niatnya menggaet program doktor di California Institute of Technology gagal tuntas. Cita-citanya menjadi ahli pesawat terbang pun terlupakan.
Lama di rantau tak menghilangkan kerinduannya pada kampung halamannya. Ia menampik tawaran green card, tiket menjadi warga negara Amerika Serikat dan memilih bekerja di negeri sendiri. Pada 1982, ia boyongan ke Jakarta. Tapi belum genap sewindu bekerja di Tanah Air, Adi memilih pensiun dini. Kecintaannya pada alam di Tanah Air membulatkan tekadnya untuk berkelana dari Ujung Kulon hingga Maumere. Sampai suatu ketika, Iskandar meminta pendapatnya tentang rencana penjualan satelit Palapa B-1 yang sudah habis masa pakainya. Satelit ”rongsokan” itu sudah ditaksir sebuah perusahaan di Amerika seharga US$ 50,000. Mendapat informasi itu, otak bisnisnya bekerja. ”Ngapain dijual. Kita jalankan saja”, kata Adi. Maka terbentuklah PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) pada 1991. Modal awalnya, dari urunan Adi dan Iskandar untuk membeli Palapa B-1. Lantas titik orbit satelit digeser ke timur, sehingga mampu mencakup pulau-pulau kecil di Pasifik. Namanya berubah jadi satelit Pasifik 1. Adi pun mulai menyetir bisnis ini. Hingga berkembang, dari ”sekadar” mengoperasikan dan menyewakan Pasifik 1, PSN kemudian melangkah ke yang lebih besar jangkauannya. Bersama timnya di PSN, keahliannya di bisnis satelit dieksplorasi lebih intensif lagi dengan mendirikan ACeS pada 1994. Di situ, PSN memegang 35% saham dan menggandeng Lockheed Martin, Philippines Long Distance Global Telecommunications (PLDT) serta Jasmine International (Thailand) sebagai mitra.
Untuk mewujudkan ambisi menciptakan sistem telekomunikasi berbasis satelit dengan teknologi GSM (global system for mobile communication), ACeS juga masuk ke Bursa Nasdaq, New York. Dengan modal US$ 750 juta, meluncurlah Garuda 1 ke angkasa. Tak lama berselang, Byru meluncur pula ke pasar. Keberhasilan Garuda 1 membuat nama ACeS berkibar. Di Tanah Air, produk layanan PSN berkembang. Selain bermain di bisnis komunikasi satelit, PSN juga masuk ke bisnis multimedia dengan meluncurkan Multi Media Asia. Semuanya berbasis satelit. (A. Kukuh Karsadi)
“Selama di atas kepala terlihat langit, komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan”, kata Adi, Chief Executive Officer & President Director PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga menduduki jabatan yang sama di Asia Cellular Satelite (ACeS). Alat telekomunikasi bebas blank spot dan irit tempat ini dimungkinkan berkat ide memasang satelit telekomunikasi di orbit geostationer. Di lintasan imajiner yang letaknya 36.000 km di atas permukaan bumi itulah, Adi menempatkan satelit Garuda 1. Satelit gagasannya itu berbobot 4,5 ton yang dilengkapi dua antena payung kembar selebar 12 meter dan mampu menjangkau sepertiga kawasan dunia. Karena ukurannya cukup besar, intensitas pancaran sinyalnya juga cukup besar.
Peluncuran satelit sipil terbesar di dunia pada Februari 2000 itu kontan membuat ciut para operator telepon satelit dunia. Ketika itu, bisa dibilang, seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan di orbit rendah (600 – 1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Daya jangkau satelit-satelit itu terbatas. Agar dapat meliput satu belahan dunia butuh sekitar 60 satelit berorbit rendah atau 12 satelit berorbit menengah. Kelemahan lain pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak ketika itu adalah pesawatnya yang tidak praktis. Perangkat telepon bergerak yang bisa digunakan untuk berkomunikasi via satelit ukurannya lumayan besar, hampir sebesar kopor traveling. Untuk mengoperasikannya juga perlu stasiun bumi, berupa antena parabola berdiameter satu meter.
Terobosan yang dilakukan Adi tak hanya memperluas cakupan satelit, juga memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini. Dengan daya pancar 10 kw, sinyal Garuda 1 bisa diterima dengan pesawat telepon genggam yang sekaligus merupakan stasiun bumi. ”Inilah stasiun bumi terkecil dan termurah yang pernah dibuat manusia”, ujar Adi sambil menunjukkan telepon genggam Ericsson R190. Jaringan telepon satelit yang berinduk ke Garuda 1 itu kemudian dikemas dengan merek dagang Byru.
Cara kerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda 1, yang dikendalikan fasilitas pengontrol satelit di pulau Batam. Di situ juga dibangun pusat kendali jaringan (network control center – NCC), yakni pengatur arus percakapan dengan panel pengaturnya. Garuda 1 mampu melayani 22.000 pembicaraan pada saat bersamaan. Selain itu, dibangun pula sebuah pintu gerbang (gateway) yang berfungsi sebagai operator lokal. Dengan Byru, pelanggan bisa menghubungi sesama telepon satelit, ke telepon GSM serta ke telepon rumah. Tiap permintaan sambungan akan dilakukan melalui satelit. Permintaan itu dianalisis oleh NCC Batam, untuk menentukan identitas penelepon dan menentukan gateway mana yang cocok dengan tujuan panggilan. Setelah itu, permintaan sambungan akan diteruskan ke telepon tujuan. Pembicaraan pun berlangsung. Semua proses itu berjalan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.
Untuk mewujudkan gagasan itu, Adi memang tak melakukannya sendirian. Meskipun Garuda 1 dibuat oleh Hughes Aircraft (dimana ia pernah bekerja), Amerika Serikat dan R190 dibuat Ericsson, Swedia, rancangannya dibuat sendiri oleh Adi dan timnya di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Iskandar Alisjahbana pada 1991. Bersama guru besar dan mantan rektor ITB itulah, lahir Byru dan Pasti – merek dagang sistem telepon satelit buatan PSN. ”Kekuatan Adiwoso adalah kewirausahaannya”, kata Iskandar. Tanpa keberanian memasarkan sendiri, bisa jadi temuan telepon satelit geostationer itu cuma jadi prototipe di laboratorium. Atau malah menjadi barang dagangan perusahaan asing yang mampu memodali temuan tersebut.
Dengan perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk-penduduk daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel lainnya tetap bisa bertelepon-ria dan menjelajah informasi lewat internet. Pada akhir 2003, PSM mengklaim telah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.
Kemampuannya mengembangkan bisnis telepon satelit, ketika pesaingnya megap-megap (salah satunya, Iridium malah sudah bangkrut), sedikit banyak tak lepas dari pengalamannya berkecimpung di bisnis satelit. Setelah meraih gelar kesarjanaan di bidang aeronautical dan astronautical engineering dari Universitas Purdue, Amerika Serikat, Adi bekerja di Hughes Aircraft Company. Di situ ia ikut dalam proses pembuatan satelit Palapa pesanan Indonesia. Setelah delapan tahun bekerja di perusahaan pembuat satelit itu bersama koleganya, Adi mendirikan Orion Satellite Asia Pacific di Washington DC. Lantaran keasyikan bekerja, niatnya menggaet program doktor di California Institute of Technology gagal tuntas. Cita-citanya menjadi ahli pesawat terbang pun terlupakan.
Lama di rantau tak menghilangkan kerinduannya pada kampung halamannya. Ia menampik tawaran green card, tiket menjadi warga negara Amerika Serikat dan memilih bekerja di negeri sendiri. Pada 1982, ia boyongan ke Jakarta. Tapi belum genap sewindu bekerja di Tanah Air, Adi memilih pensiun dini. Kecintaannya pada alam di Tanah Air membulatkan tekadnya untuk berkelana dari Ujung Kulon hingga Maumere. Sampai suatu ketika, Iskandar meminta pendapatnya tentang rencana penjualan satelit Palapa B-1 yang sudah habis masa pakainya. Satelit ”rongsokan” itu sudah ditaksir sebuah perusahaan di Amerika seharga US$ 50,000. Mendapat informasi itu, otak bisnisnya bekerja. ”Ngapain dijual. Kita jalankan saja”, kata Adi. Maka terbentuklah PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) pada 1991. Modal awalnya, dari urunan Adi dan Iskandar untuk membeli Palapa B-1. Lantas titik orbit satelit digeser ke timur, sehingga mampu mencakup pulau-pulau kecil di Pasifik. Namanya berubah jadi satelit Pasifik 1. Adi pun mulai menyetir bisnis ini. Hingga berkembang, dari ”sekadar” mengoperasikan dan menyewakan Pasifik 1, PSN kemudian melangkah ke yang lebih besar jangkauannya. Bersama timnya di PSN, keahliannya di bisnis satelit dieksplorasi lebih intensif lagi dengan mendirikan ACeS pada 1994. Di situ, PSN memegang 35% saham dan menggandeng Lockheed Martin, Philippines Long Distance Global Telecommunications (PLDT) serta Jasmine International (Thailand) sebagai mitra.
Untuk mewujudkan ambisi menciptakan sistem telekomunikasi berbasis satelit dengan teknologi GSM (global system for mobile communication), ACeS juga masuk ke Bursa Nasdaq, New York. Dengan modal US$ 750 juta, meluncurlah Garuda 1 ke angkasa. Tak lama berselang, Byru meluncur pula ke pasar. Keberhasilan Garuda 1 membuat nama ACeS berkibar. Di Tanah Air, produk layanan PSN berkembang. Selain bermain di bisnis komunikasi satelit, PSN juga masuk ke bisnis multimedia dengan meluncurkan Multi Media Asia. Semuanya berbasis satelit. (A. Kukuh Karsadi)
0 komentar:
Posting Komentar
komentari boz