Sabtu, 22 Mei 2010 | By: Togetherness

Organisasi Mahasiswa, Menciptakan Sarjana Plus





Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, mahasiswa selalu dianggap sebagai sosok yang dapat berpikir kritis, realistis dan dialektis. Bahkan tak jarang sering radikal dan revolusioner (Ari Sulistyanto, 1994). Karena sebagai bagian dari generasi muda (pemuda), status kemahasiswaannya menyandang nilai lebih dari pemuda lainnya. Melalui kajian-kajian dan pemikiran-pemikiran yang metodis, mahasiswa diharapkan mampu menangkap, menganalisis, dan mensintesakan setiap perubahan-perubahan dan dinamika kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Baik itu menyangkut kehidupan politik, sosial, ekonomi, hak asasi maupun permasalahan-permasalahan lain yang mengharuskan mahasiswa untuk menyikapi dan menyuarakan pemikirannya.

Dan tentu saja, sikap dan suara mahasiswa tersebut memerlukan wadah sebagai penyalurnya. Yang diantaranya dapat berupa organisasi-organisasi kemahasiswaan yang cukup banyak tersedia di dalam maupun di luar kampus. Organisasi tersebut dapat berbentuk senat mahasiswa/badan eksekutif mahasiswa (BEM), badan perwakilan mahasiswa (BPM), unit-unit kegiatan mahasiswa (UKM), himpunan mahasiswa jurusan/program studi, atau organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan sejenisnya. Kesemua organisasi tersebut mempunyai kegiatan yang berbeda-beda dan dasar organisasi yang berlainan pula.

Tergantung mahasiswa sendiri untuk menyikapinya dan biasanya disesuaikan dengan latar belakang, minat dan bakat masing-masing. Mahasiswa yang aktif di organisasi-organisasi kemahasiswaan tersebut biasanya di sebut aktivis.

Walaupun pada kenyataannya memang tidak semua mahasiswa mau menjadi aktivis dan mempunyai kepedulian terhadap perkembangan yang terjadi di dalam maupun luar kampus, tapi gerakan aktivis yang peduli sudah mampu mewarnai dinamika kehidupan mahasiswa di kampus. Cukup banyak kontribusi mahasiswa, melalui organisasi kemahasiswaannya, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai disiplin ilmunya masing-masing atau menjadi motivator, mediator dan akselerator dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat. Baik itu menyangkut masalah sosial, ekonomi maupun politik.

Dalam sejarah pergerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan sampai sekarang pun, melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan, mahasiswa telah mampu dan terbukti ikut andil menjadi motivator, mediator dan akselerator bagi perjuangan kemerdekaan sampai pada perjuangan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini.

Namun demikian, tak dapat dipungkiri, bila masih ada kesan miring terhadap keberadaan aktivis di organisasi kemahasiswaan yang antara lain banyaknya aktivis organisasi kemahasiswaan yang merupakan ‘mahasiswa abadi' atau mahasiswa rawan drop out (DO). Banyak hal yang melatar belakangi mengapa hal ini terjadi, sehingga alangkah baiknya bila kita tengok sosok mahasiswa yang ada di kampus.

Bila diamati dengan jeli dikaitkan dengan aktivitas mahasiswa di kampus, ternyata terdapat dua jenis sosok mahasiswa (Tonny Trimarsanto,1993) , yakni pertama sosok mahasiswa yang apatis terhadap kegiatan organisasi kemahasiswaan dan kedua adalah sosok mahasiswa aktif di organisasi kemahasiswaan, yang biasanya disebut aktivis seperti dipaparkan di muka, dengan berbagai kegiatan yang terkadang tidak hanya aktif di satu organisasi kemahasiswaan.

Walaupun kuliah dalam satu program studi atau jurusan, ternyata dua sosok yang antagonis ini sangat jelas terlihat perbedaannya dalam mewarnai dinamika kehidupan kampus.

Mahasiswa yang apatis terhadap kegiatan organisasi kemahasiswaan tentu saja merupakan mahasiswa yang hanya memikirkan aktifitas perkuliahannya saja. Segala sesuatunya selalu diukur dengan pencapaian kredit mata kuliah dan indeks prestasi yang tinggi serta berupaya menyelesaikan kuliah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun biasanya sosok mahasiswa seperti ini, justru akan mengalami kelemahan dan masalah dalam hal sosialisasi diri dengan lingkungannya, sesama mahasiswa dan masyarakat. Yang dampak negatifnya bisa saja dirasakan ketika sudah menjadi sarjana dan siap terjun ke masyarakat memasuki ‘dunia kerja'. Tipologi mahasiswa ini lebih pada sikap pragmatis yang dimilikinya yaitu kuliah secepatnya, lulus jadi sarjana dan ‘siap kerja'. Sesederhana itukah?

Karena dunia kerja realitasnya tidak sekedar menuntut kualitas kesarjanaannya, tapi juga menuntut kualitas sosialisasi. Apalagi dunia kerja yang menuntut kerja sama dan interaksi yang lebih intens, serta mengutamakan kemampuan logika berbahasa. Sarjana yang hanya sekedar mengandalkan logika dunia keilmuannya tentu akan tersisih.

Sedangkan sosok mahasiswa aktivis dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, adalah mahasiswa yang disamping menekuni aktifitas perkuliahan tapi juga menyempatkan untuk mengikuti aktifitas organisasi kemahasiswaan. Keaktifan di organisasi ini biasanya dilandasi oleh bakat, hobi, tuntutan jiwa organisasi dan kepemimpinan, tuntutan sosial atau bisa jadi karena pelarian dari aktivitas perkuliahan yang kadang dianggapnya membosankan.

Konsekuensi logis dari sosok mahasiswa seperti ini tentunya konsentrasi pemikiran dan waktu akan terbagi menjadi dua, satu sisi pada perkuliahan dan sisi yang lain pada kegiatan organisasi. Kegiatan perkuliahan juga terkadang malah terganggu oleh kegiatan organisasi atau bahkan ada yang meninggalkannya karena terlalu asyik. Sehingga terkadang menjadi alasan pembenar bahwa mahasiswa aktivis adalah mahasiswa abadi dan rawan DO.

Namun, bila dilihat dari kemampuan berorganisasi dan kepemimpinan serta sosialisasi tentu akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan mahasiswa yang apatis. Pengalaman dalam mengungkapkan realita dan bermain logika dalam berbahasa semakin mematangkan diri sebagai sosok mahasiswa. Apalagi bila dikaitkan dengan fungsi lain dari kampus sebagai agen perubahan (agent of change), maka peran para mahasiswa aktivis tak dapat dilihat dengan sebelah mata. Mereka selalu menjadi motor penggerak dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dalam menyikapi tuntutan-tuntutan kritis masyarakat dan permasalahan sosial, ekonomi dan politik lainnya.

Kecuali bagi mahasiswa yang membuat aktifitasnya di organisasi kemahasiswaan hanya sebagai pelarian dari aktifitas perkualiahannya. Kegiatan kuliah, penyelesaian tugas, praktikum, aktualisasi ide dan kajian keilmuan, dan sebagainya malah terabaikan. Organisasi kemahasiswaan hanya dijadikan tempat untuk menyenangkan diri. Sosok mahasiswa aktivis ini tentunya bukan sosok mahasiswa yang diharapkan. Karena memang kewajiban utama seorang mahasiswa adalah mengikuti perkuliahan dengan penuh tanggung jawab. Tidak dibenarkan bila kegiatan organisasi yang kadang menyita waktu kuliah selalu dijadikan alasan dan kedok untuk tidak mengikuti kegiatan perkuliahan. Mahasiswa demikian tidak mempunyai pegangan yang jelas sebagai seorang mahasiswa. Akibatnya bisa ditebak, penyelesaian kredit matakuliah menjadi terhambat. Dan karena kuliah tidak lulus-lulus dalam ukuran wajar kelulusan, maka cap ‘mahasiswa abadi' pun melekat kepadanya. Bahkan lebih ‘sial' lagi bila mahasiswa tersebut terancam DO.

Oleh karenanya, tentunya mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, dalam memasuki dunia kampus sudah mempunyai gambaran bagaimana harus bersikap. Dan pastilah diharapkan menjadi mahasiswa yang ideal, yaitu mahasiswa yang mempunyai kemampuan intelektual baik sesuai bidang keilmuan yang dipilih dengan tanggung jawab, juga mempunyai kemampuan dalam berorganisasi dan bersosialisai dengan lingkungannya serta peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Yang terpenting adalah dalam melakukan kegiatan perkuliahan dan organisasi tersebut mahasiswa harus mampu membagi waktu dan dengan cermat menentukan prioritas dari kegiatan-kegiatan yang akan dijalaninya. Tidakkah ingin bila lulus kelak menjadi sarjana plus, yaitu sarjana yang tidak hanya pintar dalam keilmuannya tapi juga mampu bersosialisasi dan berorganisasi dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar

komentari boz