Sabtu, 22 Mei 2010 | By: Togetherness

Sumbangan Filsafat dalam Pengembangan Wayang

SISTEM FILSAFAT JAWA

Tulisan dr. Abdullah Ciptoprawiro dalam buku Filsafat Jawa menjadi sangat penting karena didalamnya merumuskan adanya sistem filsafat jawa. Beliau melihat pola-pola pemikiran di Jawa dari jaman ke jaman, mulai masa pra-sejarah, sampai masa kemerdekaan Indonesia terdapat pola-pola universal yang mendasari filsafat jawa. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa pola universal itu adalah usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Oleh karena itu, pada era reformasi, dan demokratisasi pola-pola yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.

DASAR ONTOLOGI BAGI WAYANG
Jika disepakati bahwa filsafat jawa diejawantahkan di dalam bentuk seni wayang maka dalam wayang akan menunjukkan ciri-ciri dasar filsafat jawa didalam pergelarannya, sehingga dasar ontologis bagi wayang adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Usaha untuk memperoleh kesempurnaan atau kasunyatan itu tidak saja harus bersifat rasional dan empiris tetapi juga harus mengandung unsur rasa yang menjadi ciri khasnya. Tampaknya aliran yang mewakili dalam hal ini adalah INTUISIONISME yaitu aliran yang merangkum keduannya, antara yang rasional dan empiris serta melibatkan rasa di dalamnya.

INTUISI DALAM PEMIKIRAN DI BARAT:
Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal. Aristoteles adalah orang yang menemukan alat ukur ini dengan memberikan nama Organon. Dengan alat ukur ini mampu dijelaskan segala sesuatunya yang ada. Namun, Organon hanya bersifat sebagai pengajaran atau penjelasan yang bersifat desriptif saja, Aristoteles tidak mampu bertindak untuk melakukan sesuatu.

Sebagai jawaban atas kelemahan Organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan oleh Francis Bacon, yaitu Novum Organum. Menurutnya, kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan atau dieksperimentasikan. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Dengan ditemukan alat ukur ini telah mengubah peradaban manusia berkembang luar biasa. Manusia mencapai hasil di luar batas kemampuan akal, sesuatu yang semula tidak dipikirkan mampu dibuktikan, alam yang semula bungkam dipaksa untuk membuka rahasianya. Eksperimentasi serta metode ilmiah mendominasi dalam peradaban manusia. Dengan metode ilmiah dan semangat ilmiah, penemuan-penemuan baru di bidang science dan teknolgi merebak. Pemikiran Francis Bacon ini telah membawa kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpengaruh dan kita rasakan sampai dewasa ini.

Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan batasnya yaitu; ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, kenyataan yang paradoks, Tuhan serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa kelaboratorium, maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya. Sebagai jawaban atas kekurangan Bacon maka ditemukanlah alat ukur baru yang disebut dengan Tertium Organum oleh P.D. Ouspensky, yaitu kebenaran yang bersifat intutif yang merangkum keduanya, bahwa kenyataan itu harus rasional tetapi juga harus dieksperimentasi, yang didalamnya akan terjadi proses, perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kenyataan yang tinggi, higher reality. Penemuan Tertium Organum, atau P.D. Ouspensky menyebutnya dengan berbagai istilah: Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic merupakan upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan.

INTUISI DALAM PEMIKIRAN DI TIMUR
Dalam pemikiran di Jawa khususnya, alat yang ditemukan oleh Ouspensky sudah tidak lagi dianggap asing, di Jawa merupakan gudangnya. Namun, Pemikiran ini tercermin dalam karya-karya sastra, serat ataupun suluk. Misalnya, dalam Serat Jatimurti (tuwin nerangkaken ukuran kaping papat), karya Soedjonoredjo menjelaskan mengenai Rasasejati, yang tidak sejati. Demikian pula dapat kita temukan juga dari ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram tentang istilah rasa sejati yang berbeda dang aku kramadangsa. Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulang Reh menyebutnya dengan Rasa kang satuhu , Rasaning rasa. Dr. Abdullah Ciptoprawiro mengatakan intuisi sebagai sesuatu yang mengandung perasaan dan pengetahuan, dibedakannyan dengan perasaan pancaindra, disebutnya dengan rasa sejati atau rasa jati. Tentang cara berfiikiran intutif atau menggalih ini beliau mengatakan lebih lanjut sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku dianggap tidak kekal-statis tetapi dapat berubah dinamis dengang peningkatan kesadaran.

PENERAPANNYA DALAM WAYANG
Jika wayang dianggap berfungsi sebagai tuntunan/etika dan tontonan/estetika maka konsep etika dan estetika filsafat jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika menjawab persoalan apa yang baik dan apa yang bruruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, justru harus diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka, disini memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang harus menunjukkan hal ini

Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat jawa akan diukur dengan “realitas tertinggi’. Dalam wayang harus nges, sem, renggep, yang semua itu merupakan pantulan dari keindahan dari “realitas tertinggi”

Struktur Pergelaran
Dalam intuisionisme akan memperlihatkan suatu proses evolusi menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness), patet 6, patet 9, dan patet manyura memberikan gambaran adanya proses ini.

Patet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga.

Patet 9, diceriterakan tentang proses seorang tokoh/ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan.
Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6.

Garap tokoh, seyogyanya harus ada tokoh atau guru yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi “higher tertinggi” yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria/tokoh.

Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria / tokoh, yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari sang guru.

Garap Catur, seyogyanya menunjukkan dialog kritis, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati.

NILAI-NILAI DEMOKRATIS
Nilai-nilai demokratis secara umum bisa diterapkan dalam seluruh struktur pergelaran baik dalam garap catur, maupun garap lakon, serta garap adegan.

Yang membedakan intuisionisme dengan alairan lain adalah dalam problem solving atas suatu konflik / masalah. Pengetahuan dalam realitas tertinggi bersifat simbolik, ketika diungkapkan dalam bahasa terjadi paradok, yang bisa kita lihat: nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, digdoyo, tanpo aji, mati sak jroning urip dan sebagainya.

Di dalam realitas sehari-hari di alam demokrasi apakah pengetahuan dari realitas tertinggi ini masih relevan?
Penyelesaian intuisionisme menunjukkan penyelesaian atas masalah yang memberikan nilai spiritual didalam tindakannya.

0 komentar:

Posting Komentar

komentari boz